Pemikiran politik Islam pada era modern![]()
“Abad ke-19 hingga awal abad ke-20 memperlihatkan sosok buram wajah dunia Islam. Hampir seluruh wilayah Islam berada dalam genggaman penjajah Barat. Dalam internal umat Islam sendiri, pemahaman keagamaan mereka yang tidak antisipatif terhadap berbagai permasalahan membuat mereka semakin jauhtertinggal menghadapi hegemoni Barat. Umat Islam lebih banyak mengandalkan pemahaman ulama-ulama masa lalu daripada melakukan terobosan-terobosan baru untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi
Kontak umat Islam dengan penjajah Barat ternyata membawah hikmah juga bagi umat Islam. Adanya kontak tersebut menyadarkan umat Islam bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat. Keadaan ini terbalik ketika umat Islam abad pertengahan menguasai ilmu dan peradaban dan Barat belajar banyak kepada dunia Islam.
Dalam lapangan politik, dunia Islam mulai bersentuhan dengan gagasan-gagasan pemikiran Barat. Sebelumnya, pada masa klasik dan pertengahan, umat Islam dapat dikatakan mendominasi percaturan politik internasional. Dinasti-dinasti Islam silih berganti naik ke puncak kekuasaan politik. Umat Isalm memegang kendali dunia ketika itu. Belum lagi munculnya dinasti-dinasti kecil yang ikut mewarnai politik pemerintahan pada era klasik dan pertengahan.
Namun keadaan berbalik pada masa modern. Kekalahan-kekalahan dinasti Usmani dari Barat membuat rasa percaya diri Barat semakin tinggi. Hal ini ditambah lagi dengan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi barat, sehingga mereka mampu menjelajah berbagai belahan penjuru dunia yang pada gilirannya mereka dapat menguasai dunia Islam. Pada zaman modern , hamper seluruh dunia Islam mengalami penjajahan Barat. Di samping menjajah, Barat juga mengembangkan gagasan pemikiran dan kebudayaan mereka ke tengah-tengah masyarakat muslim.
Menghadapi penetrasi Barat ini, sebagian pemikir muslim ada yang bersikap apriori dan anti-Barat; ada juga yang menerima mentah-mentah segala yang datang dari Barat, serta ada pula yang berusaha mencari nilai-nilai positif dari peradaban dan pemikiran Barat, di samping membuang nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam.”[5]
Beberapa pendekatan-pendekatan politik pada era kontemporer yang bisa kita buat acuan menjadi politikus yang profesional dalam perkembangan zaman yang semakin krisis akan keadilan :
1. Mengidentifikasi orang-orang yang berpengaruh dalam kedaulatan suatu saham.
2. Berpikir rasional dan kritis dalam suatu perdebatan (beragumen).
3. Meniadakan sikap dengki pada sesama politisi, dan bersaing secara sehat.
4. Saling bekerjasama jika menguntungkan satu sama lain.
5. Tidak mudah tersulut akan berita-berita yang belum pasti faktanya, karena itu akan merugikan dan mengancam jabatan yang akan kita gapai.
6. Mencari faktor-faktor (problem) dalam suatu instasi negara, dan mencari penyelesaian yang efektif.
7. Mematuhi undang-undang negara dalam menjalankan tugas (tidak sewenang-wenang)
8. Menjunjung tinggi keadilan dan norma agama, menetapkan hukum yang setimpal pada perbuatan yang dilakukan.
9. Sigap dalam membangun insfrastruktur yang menjadi keluan rakyat, dan semata-mata demi kemaslahatan masyarakat.
Semua acuan ini tak semudah yang kita kira, dan tidak bisa dikerjakan secara individual. Undang-undang yang telah kita anut pun tidak bisa kita seenaknya merubah tanpa ada persetujuan dari dewan-dewan yang berdaulat dalam instasi negara. Sebagai seorang rakyat pun juga harus membantu tugas para politisi, contoh: Mengurangi tingkat kelahiran (yang menjadi penyebab utama pengangguran [terbatasnya lowongan pekerjaan] dan peningkatan beban ekonomi negara), Membantu mengurangi tingkat kriminalitas (pungli, penculikan, kemaksiatan), dan melaporkan oknum-oknum yang kita curigai dalam peredaran narkoba yang semakin tinggi.
Dalam suatu politik pasti ada ancaman (bahaya) yang harus tetap kita waspadai, dan itulah intrik politik yang pernah dilalui oleh Ibn Khaldun, dan masih terjadi pada era kontemporer ini. Beberapa bahaya seorang politikus dalam berpolitik yang harus diwaspadai:
1. Menikam rekan satu instasi dari belakang demi perebutan jabatan.
2. Melakukan meeting rahasia demi kepintingan individual.
3. Penarikan dana negara yang berlebihan, dengan alasan pembangunan infrastruktuk (korupsi).
4. Dengan mudah tercemar nama baik kita dari sebuah perilaku yang menurut masyarakat tak pantas, karena dunia politik tak lepas dari sorotan media.
5. Perseteruan antar orang-orang dan departemen.
6. Pembentukan kelompok-kelompok kecil yang bertugas kritik satu sama lain yang berunsur menghina dengan satu tujuan yakni melenserkan jabatan.
Dengan semua poin-poin tersebut kita bisa waspadai dengan kecerdasan berpolitik, dan membuat benteng yang telah kita siapkan untuk menangkis semua itu dengan tidak mudah meberikan kepercayaan kepada orang yang kita tidak tau betul seluk-beliknya.[6]
Sumber: https://swatproject.org/