Masa Depan Keberagamaan Kita
Tantangan pada saat ini adalah menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain, dan keprihatinan global (Abdurrahman Wahid, 1986).
Pendahuluan
Anggaplah bahwa ajaran dan pengikut Ahmadiyah mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, bukan sekadar al-mahdi, seorang tokoh yang (akan) muncul di akhir jaman untuk meruntuhkan kebatilan dan menegakkan keadilan. Anggaplah pula Kitab Tadzkirah, sebuah versi menyimpang dari Al-Quran mushaf ‘Utsmani, adalah kitab suci mereka. Anggaplah pula Ahmadiyah adalah “mainan” buatan Inggris pada masa kolonial. Apa pendapat akidah saya—untuk tidak menyebut “kita”—terhadap ajaran yang demikian? Jawaban saya sederhana: ajaran tersebut tidak sesuai dengan keyakinan saya, dan oleh karenanya tidak benar.
Demikianlah jika pendekatan akidah digunakan untuk menilai pemikiran lain. Akidah, apa pun itu, akan selalu memiliki ukuran tertentu untuk menolak pemikiran lain. Akan tetapi, pendekatan akidah seringkali tidak digunakan di dalam pola interaksi masyarakat kita. Setidaknya, fenomena itulah yang ditemui di pedesaan dan kampung-kampung perkotaan. Sebagai gambaran, di kampung penulis, suatu waktu seorang kyai mengajarkan Sullam Taufiq karya Imam Nawawi yang kerengnya minta ampun dalam hal akidah kepada santri-santrinya. Di waktu lain, ia berkolaborasi memimpin tahlilan dengan seorang tetua spiritual kejawen.
Akidah dan Konstitusi
Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dituntut dibubarkan karena tidak sesuai dengan akidah kebanyakan orang Islam. Dengan atau tanpa disertai kekerasan fisik, ini adalah pola pikir yang sangat bertentangan dengan konstitusi dan bila dibiarkan akan mengancam kita semua. Ada beberapa penjelasan untuk hal ini.
Negara kita tidak mengikatkan diri pada salah satu agama dan/atau corak ajaran agama tertentu. Konstitusi kita menjamin kebebasan dan kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (Pasal 28E ayat 1-2 dan 29 ayat 2). Hak beragama ini, bersamaan dengan hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (Pasal 28I). Ketika pemerintah, melalui SKB, memaksa JAI untuk tidak menyebarkan ajarannya yang dianggap sesat oleh kebanyakan umat Islam, maka sebenarnya pemerintah telah melanggar konstitusi.
Menurut para penuntut pembubarannya, JAI dinilai telah tersesat terlalu jauh. Perbedaan mereka dengan umat Islam kebanyakan bukan lagi sebatas dalam hal-hal yang bersifat furu’iyyah (bukan prinsip), tetapi sudah menyangkut akidah. Kalau akidah sudah menyimpang, maka JAI harus bubar atau tidak boleh mengaku sebagai orang Islam. Ini adalah penilaian subyektif yang dipaksakan untuk diterapkan oleh pemerintah guna memberangus ajaran lain. Logika ini sangat menggelikan mengingat konstitusi dan segenap peraturan perundang-undangan kita tidak mengenal parameter akidah dan furu’iyyah untuk membatasi sebuah ajaran agama. Pembatasan dimaksud dapat ditetapkan oleh ”undang-undang dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” (Pasal 28J(2)).
Maksud nilai-nilai agama sebagai norma pembatas kebebasan warga negara tentu bukan (corak) akidah suatu (aliran) agama tertentu, sebab bila dimaksudkan demikian, tentu akidah suatu (aliran) agama tertentu, dalam satu atau beberapa hal, akan bertentangan dengan akidah (aliran) agama lain. Contoh kasus pembatasan yang patut dikemukakan di sini adalah gugatan uji materi atas UU Perkawinan yang ajukan oleh Eggy Sujana dan kawan-kawan beberapa waktu lalu. Dengan menyertakan syarat persetujuan Istri untuk menikah lagi, UU Perkawinan dinilai para penggugat telah melanggar konstitusi karena membatasi kebebasan umat Islam untuk melaksanakan ”ibadah” poligami. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan ini karena pembatasan tersebut bertujuan untuk menjamin hak-hak perempuan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28J (2) UUD. Menurut penulis, keputuan MK sangat tepat. Dengan putusan tersebut, MK tidak memihak pada salah satu tafsir agama Islam: menolak atau menerima poligami, tetapi tetap menjamin hak-hak dasar para perempuan sebagai warga negara untuk menentukan sikap. Dan demikianlah memang yang harus dilakukan oleh negara.
Logika dibalik tuntutan pembubaran Ahmadiyah dan dikeluarkannya SKB dapat pula diterapkan untuk ajaran shalat berbahasa Indonesia, shalat waktu telu di daerah Nusa Tenggara Barat, pelaksanaan haji di salah satu gunung di Sulawesi, upacara perkawinan tebu di daerah Tegal, atau qunut, tahlilan, manakiban, dan ziarah kubur yang dianggap bid’ah. Maka bayangkanlah bila suatu saat warga NU menjadi minoritas dan logika di atas terus dilanggengkan. Warga NU akan dituduh menodai dan menistakan agama Islam karena mempraktikkan berbagai bid’ah. Semoga ini hanya kecemasan yang berlebihan.
Penutup
Raja Sa’ud dan Kaum Wahabi pernah berkolaborasi ”memurnikan” ajaran Islam: melarang ziarah kubur dan aneka bid’ah lainnya. Lewat pembentukan Komite Hijaz, mbah-mbah kita, para pendiri NU, Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah, menentang ”pemurnian” tersebut. Sekarang ….?