al-Mashalih at-tahsiniyah
Mashlahat ketiga adalah al-mashlahah al-tahsiniyyah, yaitu seuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan akhlak yang baik atau adat istiadat yang berlaku. Jika al-mashlahah ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu, juga tidak akan menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya. Hanya saja seseorang akan dinilai tidak panatas dan tidak layak berdasrka ukuran tata krama dan kesopanan. Untuk konkretnya diangkat beberapa contoh, larangan untuk boros, pelit, kesamaan dalam memilih pasangan hidup (kafa’ah), etika makan, menutup aurat, dan seluruh yang berkaitan dengan etika, dan akhlak.
Urgensinya dalam berijtihad:
Dalam hubungannya maqashid asy-asyari’ah dengan ijtihad, Asy-Syatibi berpendapat bahwa apabila seseorang hendak berijtihad, maka hendaklah berpegang pada maqashid asy-syari’ah. Lebih jauh dia berpendapat bahwa mengetahui maqashid asy-syari’ah lebih utama dibanding menguasasi bahasa arab bagi sesorang yang ingin berijtihad dari teks arab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa orang yang akan berijtihad. Salah satu manifestasi dari pandangan ini adalah tentang nikah mut’ah dan nikah tahlil, dan kedua model pernikahan ini adalah bersifat temporer atau sementara. Sejalan dengan ini, modelnya tidak perlu dipersoalkan karena maqashid dari suatu perkawinan adalah kesinambungan dan kasih sayang dalam kelanggenan.
Memahami maqashid asy-syari’ah berarti membuka pintu cakrawala ijtihad karena ia meupakan temuan syari’at yang sesungguhnya. Dengan maqashid asy-syari’ah dapat diketahui apa yang termasuk taat, maksiat, rukun, dan sunat. Karena itu, seyogyanya jika seseorang ingin berijtihad tidak boleh hnya terpaku pada pendekatan kebahasan, tetapi perlu bergeser pada pendekatan maqashid al-syari’ah.